Islam adalah
agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan
ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak
kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental,
yaitu dalam masalah aqidah.
Pernyataan
bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah
kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami
tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran
Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi
seluruh manusia.
Secara
bahasa,
الرَّحْمة: الرِّقَّةُ والتَّعَطُّفُ
rahmat artinya kelembutan yang berpadu
dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata
lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah
kepada seluruh manusia.
Penafsiran
Para Ahli Tafsir
1. Ibnu
Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:
“Pendapat
yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat
umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat
manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang yang
mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.
Orang kafir
yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya
pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup
mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah
ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi
mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.
Orang kafir
yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan
hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit
keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam.
Orang
munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat
berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun
diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum
yang lain.
Dan pada
umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab
yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia
mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap
manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat
di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang
kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima.
Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan
fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”
2. Muhammad
bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat
ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa
hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada
keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain,
‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat
yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan
di akhirat’ ”
3. Muhammad
bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:
“Para ahli
tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia
yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir?
Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang
dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya
dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat
ini:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja
yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah
dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua
di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”
dalam
riwayat yang lain:
“Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat
bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang
yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah
yang menimpa umat terdahulu”
Pendapat
ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman
saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini:
“Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia
yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan
dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia.
Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada
Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya”
Pendapat
yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana
riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir.
Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan
amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa
tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari
ajaran Allah” (diterjemahkan secara ringkas).
4. Muhammad
bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi
“Said bin
Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
“Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran
beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau,
diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke
dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”
Ibnu Zaid
berkata:
“Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat
ini adalah hanya orang-orang yang beriman” ”
5. Ash
Shabuni dalam Shafwatut Tafasir
“Maksud ayat
ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits:
“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang
dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir
369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan
Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al
Jami’, 2345)
Orang yang
menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala
tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan
lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi
seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar.
Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi
sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan
pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau
memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah
yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang
kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi
mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi
binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”
Pemahaman
Yang Salah Kaprah
Permasalahan
muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara serampangan, bermodal
pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha memaksakan makna ayat
agar sesuai dengan hawa nafsunya.
Diantaranya
pemahaman tersebut adalah:
1. Berkasih
sayang dengan orang kafir
Sebagian
orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci
mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan
menyerukan bahwa semua agama sama dan benar, dengan berdalil dengan ayat:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami
tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam
semesta” (QS. Al Anbiya: 107)
Padahal
bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat
bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah
dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli
tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa
musibah besar yang menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah
terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.
Bahkan
konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala
bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan
terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, serta membenci
orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ
أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Namun perlu
dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti
orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam
tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang
tidak boleh dilukai.
Menjadikan
surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan
pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling
bertentangan. Bukankah Allah Ta’ala sendiri yang berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ
“Agama
yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)
Juga firman
Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ
يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”
(QS. Al Imran: 85)
Orang yang
mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan
‘berserah diri’.
Jadi semua
agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata mereka. Cukuplah kita
jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
”Islam itu
engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke
Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)
Justru surat
Al Anbiya ayat 107 ini adlalah bantahan telak terhadap pluralisme agama. Karena
ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama
Islam. Karena Islam itu ‘lil alamin‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di
muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah
rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan
mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.
2. Berkasih
sayang dalam kemungkaran
Sebagian
kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran
merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan
membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena
khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian
berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh
aneh.
Padahal
bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini. Islam sebagai rahmat
Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan
membiarkan mereka dalam kemungkarannya. Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam
tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk
dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu
‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman
dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.
Maka bentuk
kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk
untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh
Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita
juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat,
sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan
mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.
Dan sikap rahmat
pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap
maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan
sikap kasar dan keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:
“Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu,
kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali
akan memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)
3. Berkasih
sayang dalam penyimpangan beragama
Adalagi yang
menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat.
Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan
pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami
dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan
lil’alamin?”. Sungguh aneh.
Menafsirkan
rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107 dengan kasih sayang dan toleransi
terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang
sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang menafsirkan demikian.
Perpecahan
ditubuh ummat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan
sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Dan orang
yang mengatakan semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat
ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan semua agama sama.
Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan ada yang salah.
Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan tentang rahmat dalam
surat Al Anbiya ayat 107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan
di dunia dan akhirat sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang
Allah kepada orang yang mengikuti golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti
ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Pernyataan
‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku
kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا
تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا
عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah:
‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”
Sedangkan
kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila
saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang
menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam
kebaikan?
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)
Dan
menasehati orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang
kepada orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke
dalam penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana
sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
“Jika engkau mengetahui adanya sebuah
kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang yang melihat langsung lalu
mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung (tidak dosa).
Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia
sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR. Abu Daud
no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Perselisihan
pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi.
Apakah kita mentoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu
itu tidak wajib bagi orang yang mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian
orang kejawen yang menganggap shalat itu yang penting ‘ingat Allah’
tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita mentoleransi pendapat Ahmadiyyah yang
mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi.
Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun
pendapat-pendapat yang berdasarkan dalil shahih, cara berdalil yang
benar, menggunakan kaidah para ulama, barulah dapat kita toleransi.
4.
Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan
menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan
aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan
memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan
prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Renungkanlah
perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan lil ‘alamin: “Beliau Shallallahu
‘alaihi Wa sallam memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya
berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang
sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi
seluruh manusia”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat
bagi seluruh manusia karena beliau membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada
masa sebelum beliau diutus berada dalam kesesatan berupa penyembahan kepada
sesembahan selain Allah, walaupun mereka menyembah kepada Allah juga. Dan
inilah inti ajaran para Rasul. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ
اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan
sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’ ” (QS. An Nahl: 36)
Selain itu,
bukankah masalah aqidah ini yang dapat menentukan nasib seseorang apakah ia
akan kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala berfirman:
نَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ
عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)
Oleh karena
itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini?
Kesimpulannya,
justru dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat
dari Allah Ta’ala. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam adalah rahmat Allah, maka bagaimana mungkin
menjadi sebab perpecahan ummat? Justru kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi
sebab perpecahan ummat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ
فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ
فَرِحُونَ
“Janganlah
kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar
Ruum: 31-32)
Pemahaman
Yang Benar
Berdasarkan
penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya, beberapa faedah yang dapat
kita ambil dari ayat ini adalah:
- Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
2. Seluruh manusia di muka bumi
diwajibkan memeluk agama Islam.
3. Hukum-hukum syariat dan
aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada
makhluk-Nya.
4. Seluruh manusia mendapat manfaat
dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
5. Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh
orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam
6. Seluruh manusia mendapat manfaat
dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
7. Orang yang beriman kepada ajaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam,
membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
8. Orang kafir yang memerangi Islam
juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan
mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat
kelak.
9. Orang kafir yang terikat perjanjian
dengan kaum musliminjuga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta
mereka.
1. Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan
diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berupa dihindari
dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga
setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, tidak akan ada
kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke
dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
11. Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun
ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya
darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana
kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat
kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
12. Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan
kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada
manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain
Allah.
13. Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini
diberikan juga kepada orang kafir namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang
mu’min saja yang mendapatkannya.
14. Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini
hanya diberikan orang mu’min.
Semoga Allah
Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, yang dengan
sebab rahmat-Nya tersebut kita dikumpulkan di dalam Jannah-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar