Sabtu, 15 Februari 2014

Idealisme dan pragmatisme mahasiswa

 Semenjak bergulirnya abad ke-20 arus globalisasi melaju dengan akselerasi yang luar biasa kencangnya. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin mendukung tumbuhnya globalisasi di segala bidang, baik itu ekonomi, sosial, budaya, teknologi maupun bidang kehidupan lainnya. Globalisasi sendiri membawa dampak yang sangat besar dalam merubah pola hidup masyarakat dunia. Tuntutan efektifitas dan kecepatan kerja, akurasi serta hasil / profit yang tinggi tanpa sengaja merubah ideologi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dunia menuju kearah yang serba instan. Begitu pula mahasiswa, kaum muda yang disebut-sebut sebagai "agent of change" ini tak luput dari pengaruh globalisasi.

Sudah tidak diragukan lagi bahwa peran mahasiswa sangatlah besar dalam sejarah bangsa ini. Mahasiswa - kaum muda umumnya - berhasil memaksa sejarah untuk mencatat peran mereka dalam peristiwa-peristiwa sakral negeri ini. Mulai dari awal pergerakan nasional dengan berdirinya Budi utomo hingga berakhirnya era orde baru, kita bisa melihat betapa besar peran yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa. Seiring berjalannya waktu, diawal abad ke-20, awal dari era reformasi dan awal dari abad "globalisasi", peran mahasiswa sebagai #agent_of_change, #agent_of_science, dan #agent_of_society semakin pudar ditelan waktu. Kita tidak lagi melihat idealisme mahasiswa terdahulu yang benar-benar mendedikasikan diri mereka demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat didalam sosok mahasiswa modern. Mahasiswa modern terkesan pragmatis dan apatis terhadap hal-hal yang terjadi disekelilingnya. Tekanan eksternal yang begitu kuat seakan melunturkan semangat juang dan patriotisme pemuda terdahulu yang  seharusnya diwarisi oleh para mahasiswa.
 Membicarakan idealisme dan pragmatisme mahasiswa, rasanya tidak sah bila kita tidak membahas esensi dari idealisme maupun pragmatisme itu sendiri. Sosok idealis merupakan sosok yang berprinsip dan berkarakter. Seorang yang idealis akan cenderung untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dan teori yang menurutnya benar berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapatkannya. Prinsip-prinsip tersebut akan digunakannya sebagai alat "benchmarking" terhadap apa yang dihadapinya sehari-hari, sehingga ia tidak mudah dipengaruhi untuk mengikuti arus.
Lain halnya dengan seseorang yang pragmatis. Sosok pragmatis cenderung mengutamakan segi praktis dan instan. Baik buruknya sesuatu ditentukan dengan kebermanfaatannya, baik bila menghasilkan keuntungan yang besar dan buruk bila merugikan. Seorang pragmatis cenderung bersifat "profit hunter" dan mengabaikan proses untuk mendapatkan profit tersebut. Bahkan dalam prosesnya terkadang menabrak norma-norma yang telah ada.
 Memang tidak mudah bagi seseorang untuk mempertahankan idealismenya di zaman seperti sekarang ini, apalagi bagi seorang mahasiswa. Mahasiswa adalah darah muda dengan semangat yang menggebu-gebu. Terkadang semangat tersebut dapat menjadi pemicu mahasiswa untuk terjerumus ke area negatif apabila sang mahasiswa belum memiliki pemahaman yang komprehensif tentang nilai, moral dan etika. Mahasiswa modern cenderung termotivasi untuk mengerjakan hal-hal yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dengan jalan-jalan pintas nan cepat untuk menghindari kerepotan. Penyakit malas dan hedonisme benar-benar telah menggerogoti sebagian besar mahasiswa. Tugas "copy-paste", titip absen, mencontek, kerjasama saat ujian, bahkan menyewa jasa pembuatan skripsi seolah menjadi hal yang biasa bagi seorang mahasiswa. Gaya hidup mahasiswa pun kini sangat mewah dan cenderung boros.
Tuntutan eksternal baik itu dari orang tua maupun lingkungan untuk memiliki Indeks Prestasi tinggi terkadang membuat mahasiswa gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Ditambah lagi keinginan untuk lulus tepat waktu dan bisa mendapatkan pekerjaan idaman bergaji tinggi ditengah biaya kuliah yang semakin mahal. Ilmu yang didapatkan dari bangku kuliah pun tidak dikuasai dengan baik, yang penting masuk kuliah, wisuda, lulus, lalu kerja. Cari kerja juga masih menjadi mindset yang dominan bagi mahasiswa modern. Sedikit yang tertarik dengan dunia kewirausahaan. Iming-iming gaji yang lebih besar sangat sulit untuk ditolak meskipun harus menambah daftar panjang antrian sebuah lowongan pekerjaan.
Abraham maslow (1908-1970) dalam teori hierarchy of needsnya menyatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan pokok yang digambarkan sebagai piramida dengan 5 tingkatan, dimana setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dari tingkatan terbawah menuju ke puncak piramida. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kebutuhan dasar dan kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan dasar terdiri dari kecukupan fisiologis, keselamanatan dan keamanan. Sedangkan kebutuhan pertumbuhan terdiri dari keterlibatan dan hubungan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Saat kebutuhan dasar seseorang belum bisa dipenuhi dengan baik, maka akan muncul sifat serakah dan tamak demi mencukupi kebutuhan dasar tersebut. Kebutuhan pertumbuhan yang didalamnya terdapat interaksi sosial, harga diri dan aktualisasi diripun menjadi terabaikan.

Hal inilah yang mungkin sedang terjadi ditengah-tengah mahasiswa modern. Merasa bahwa dirinya harus mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai mahasiswa terkadang membuat dirinya lupa bahwa masih ada kebutuhan pertumbuhan yang sebetulnya sama pentingnya. Mereka cenderung mengejar kewajiban-kewajiban mereka saja, seperti IP tinggi dan lulus tepat waktu. Kuliah-pulang-kuliah-pulang pun menjadi pilihan yang paling realistis mengesampingkan interaksi sosial yang sebenarnya harus mereka laksanakan mengingat status mahasiswa yang melekat.

Memang ini bukan sepenuhnya salah dari mahasiswa, dorongan dari luar seperti penanaman doktrin-doktrin hedonis dan apatis yang didapatkan dari media, dorongan orang tua untuk segera lulus dan mendapatkan pekerjaan, maupun sistem pendidikan negeri ini yang terkesan coba-coba dan belum mapan ikut berperan dalam menciptakan kondisi ini. Semenjak SD para pelajar Indonesia seakan dijadikan kelinci percobaan dari berbagai macam kurikulum yang digagas oleh para pemangku kepentingan. Sistem belajar pun berubah-rubah, tidak tetap dan menimbulkan kebingungan dikalangan pelajar. Sudah saatnya kita merumuskan kurikulum dan sistem pendidikan yang tepat dan efektif, kurikulum yang tidak meninggalkan nilai-nilai luhur bangsa dan tetap mengikuti perkembangan arus globalisasi. Sehingga terbentuklah insan pelajar yang cerdas namun tidak kehilangan akar-akar budayanya.

Peran serta lembaga/organisasi internal maupun eksternal kampus pun sangat diperlukan, terutama lembaga yang bergerak dalam pengembangan karir, leadership maupun softskills lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar